Senin, 27 Mei 2013

Sulitnya berwirausaha di Indonesia

Langkanya suku cadang, serta kurangnya perhatian Pemerintah

Pantas saja iklim kewirausahaan sulit untuk tumbuh subur di Indonesia dan membuat perekonomian Indonesia kembang kempis. Hal ini tak lain karena kurangnya perhatian Pemerintah pusat dan daerah terhadap kelangsungan hidup industri UKM. Para pejabat ini seperti setengah hati memperhatikan fasilitas yang harusnya disediakan agar industri UKM tumbuh subur. Mereka seperti terkena sindrom / penyakit 'Amnesia', sehingga harus melupakan bahwa para pelaku industri kecil ini adalah 'Pahlawan' yang menyelamatkan perekonomian Indonesia kala diterpa badai krisis ekonomi tahun 2008.

Pada saat itu para pemodal dan pelaku industri besar beramai-ramai melarikan dan menyelamatkan modalnya ke luar negeri, belum ditambah utang bernilai ribuan triliun yang macet. Pelaku industri kecil yang tidak mempunyai utang besar inilah yang berjasa menjaga agar arus perputaran modal / uang di Indonesia tidak 'Stuck' terkena macet. Kini, di era Reformasi, pemerintah yang seharusnya sadar bahwa industri kecil adalah 'Soko Guru' perekonomian, kembali melakukan kesalahan-kesalahan di era Orde Baru.

Sad man image
Sebagai salah satu pelaku industri kecil, penulis juga merasakan betapa sulitnya mengembangkan usaha akibat salahnya skala prioritas Pemerintah dalam proses pembangunan secara menyeluruh. Mulai dari sulitnya memperoleh suku cadang, bahan baku dan material, sampai sulitnya memperluas kapasitas produksi akibat keterbatasan lahan. Mengapa pemerintah tidak berusaha memberikan fasilitas untuk impor suku cadang penting yang tidak diproduksi di Indonesia. Alih-alih mempermudah proses impor, yang terjadi malah tingginya uang 'siluman' yang harus dibayar pada Bea Cukai. Padahal yang akan diimpor adalah suku cadang, bukannya barang siap pakai, jadi tidak akan merugikan negara. Yang terjadi sebaliknya adalah tingginya arus barang siap pakai di Indonesia, baik yang legal maupun ilegal. Hal ini terjadi karena banyak pengusaha di Indonesia yang dulunya adalah 'Manufacturer', kini berubah menjelma menjadi importer, karena dinilai lebih murah impor daripada produksi sendiri. Mau tidak mau, hal ini tentu berimbas pada penyerapan tenaga kerja yang rendah.

Penulis sangat memimpikan, pemerintah pusat atau daerah mau membangun suatu 'Kawasan Industri Kecil' dengan luasan lahan tidak perlu besar, sekitar 50 - 200 m2, yang terintegrasi dengan fasilitas listrik, telepon, internet murah, serta membantu proses mendatangkan suku cadang dan mempromosikan produk secara lengkap, tidak setengah setengah. Ini adalah hambatan terbesar untuk wirausahawan kecil seperti penulis, mau kontrak rumah lebih besar pasti diprotes tetangga kanan kiri, mau kontrak pergudangan terlalu besar dan mahal. Tidak sadarkah mereka, jika industri UKM berkembang pesat, pasti akan mendatangkan manfaat luar biasa besar, yaitu tingginya pemasukan pajak, tingginya penyerapan tenaga kerja, tingginya kesejahteraan pekerja, dan yang paling penting adalah tingginya martabat bangsa Indonesia di mata dunia.
Silakan hitung, mana yang lebih menguntungkan?, menciptakan 1.000 industri UKM dengan 10 tenaga kerja per UKM, atau menciptakan 1 industri raksasa dengan 10.000 tenaga kerja. Dengan 1000 UKM, maka akan ada 1000 orang kaya yang sangat mungkin semakin berkembang menambah pabrik baru dan otomatis menambah tenaga kerja baru. Itupun baru perhitungan di salah satu daerah, lalu bagaimana jika diterapkan di ribuan daerah di Indonesia?

Analisa penulis, semua itu disebabkan karena 'Alam Bawah Sadar' para pejabat ini masih setia dengan falsafah 'Kalau bisa dipersulit kenapa harus dipermudah', dan rendahnya kualitas kompetensi sebagai seorang pejabat yang seharusnya bertugas memakmurkan masyarakat. Para pejabat akan mendapatkan keuntungan jauh lebih besar jika memakmurkan perusahaan besar dan raksasa, tidaklah heran di Indonesia bermunculan manusia seperti Gayus serta ribuan 'gayus-gayus' yang lain.

Pantaslah orang tua kita sering berucap kepada anaknya, 'Oalah.. nasibmu nak!'

Evolusi Penetas Minorca

Sebuah perjalanan panjang Penetas Minorca produksi 2002 - 2009

Berikut ini adalah Galeri Foto penetas yang pernah saya produksi, mulai dari penetas Semi Otomatis sampai Full Otomatis. Menunjukkan betapa panjangnya perjalanan saya dan juga banyaknya inovasi yang saya lakukan, baik yang minor sampai mayor. Kecuali tipe R-100, semuanya sudah diskontinyu.

Penetas Minorca R100
Penetas Semi Otomatis Minorca R-100, kapasitas 100,  generasi 2, produksi 2003. 
Top of the line, pada saat itu merajai pasar penetas telur di seluruh Jawa Timur mengalahkan 2 produsen besar penetas di Indonesia. Pada akhirnya harus jatuh, bukan karena persaingan, tapi akibat harga BBM, wabah Flu Burung dan peniruan besar-besaran. Saat ini masih diproduksi secara terbatas.


Penetas Minorca R200 
Penetas Semi Otomatis R-200, kapasitas 200, generasi 2, 
produksi 2003. 
Perhatikan, handel putar ada di bagian atas tengah dengan mekanisme geser yang unik, untuk distribusi berat pemutaran yang ideal. Pada produk tiruan, handel masih di samping sehingga rak telur bisa terpuntir karena distribusi berat yang tidak seimbang.

Penetas Minorca R400Penetas Minorca R1000

Penetas Semi Otomatis R-400, 
kapasitas 400, produksi 2004,

Penetas Semi Otomatis R-1000,
 kapasitas 1000, produksi 2004.
Kapasitas terbesar yang pernah
diproduksi, dengan pemanas
masih mampu memakai
lampu pijar 120 watt



Penetas Minorca Walet F200
Penetas Semi Otomatis khusus telur Walet F-200, kapasitas 200, produksi 2004.
Model portabel dengan dual power 220v dan 12v untuk pemakaian di mobil. Perhatikan, rak telurnya menggunakan busa berlubang.



Penetas otomatis A100 Prototipe
Penetas otomatis A30 USAPrototipe penetas Full Otomatis A100, kap 100, produksi 2005.
Hingga sekarang masih dipakai
untuk pembibitan ayam Onagadori,
belum pernah ganti spare part.

Penetas Full Otomatis 
kapasitas 30, pesanan 
adik di USA, produksi 2009.
Dengan pesanan khusus 110V
dan box pemanas knock down agar mudah dalam transportasinya



Penetas Semi Otomatis Minorca produksi 2002

Bukti bersejarah penetas 'Rak Putar'

Saat bongkar-bongkar laci meja, darah saya sempat berdesir melihat selembar foto yang terselip di tumpukan berkas-berkas lama. Tiba-tiba pikiran saya langsung melayang ke masa lampau membayangkan repotnya 'babat alas' memasarkan produk mesin tetas pertama bersistem 'Rak Putar' pada medio 2002. Pada saat itu belum ada satupun penetas produk anak negeri yang menggunakan sistem rak putar untuk penetas telur kapasitas kecil, hanya penetas kapasitas besarlah yang mungkin sudah menggunakannya, itupun pastinya sudah bertipe full otomatis.
Sempat kesulitan mencari nama yang pas untuk 'brand' nya, seperti merk penetas manual (putar dengan tangan satu persatu) merk 'Cema**'. Sepertinya nama-nama ayam sangat cocok untuk dijadikan merk, tapi sudah buka buka buku, majalah, dll, belum juga ketemu nama yang cocok. Sampai akhirnya teringat nama salah satu jenis ayam dari italia, yaitu Minorca. Sempat ragu-ragu dengan nama tersebut, karena berkesan kurang nasionalis. Tapi.. karena harus berkejaran dengan waktu pemasaran yang sudah mepet, akhirnya jadilah nama 'Minorca' sebagai brand penetas telur bersistem rak putar.

Penetas Minorca 2002


Semuanya lengkap, mulai penetas kapasitas 30, 50, 100 dan 200, difoto di salah satu Photo Studio di Surabaya pada tahun 2002. Perhatikan dengan teliti dan bandingkan dengan penetas rak putar merk lain, bukankah desain, dimensi, dan kapasitas masih 'sebelas duabelas'?, alias serupa tapi tak sama dengan penetas rak putar merk lain yang sekarang lagi ramai-ramai menjiplak dan di iklankan di media internet. Sampai sekarangpun penetas merk 'Minorca' masih eksis, tapi diproduksi oleh saudara dan lebih banyak dipasarkan secara 'Offline' di Poultry Shop sekitar Surabaya - Sidoarjo dan kota lain. Beberapa juga dipasarkan secara 'Online' melalui iklan-iklan gratis.

Bukti bersejarah memang tidak bisa dibantah kebenarannya!



Sabtu, 25 Mei 2013

Innovation in Simplicity

Inovasi bukanlah tentang seberapa hebat dan rumitnya teknologi, tetapi seberapa efisien dan efektifnya teknologi.

Innovation in simplicity logo
Seorang teman pernah memuji saya dalam blognya karena mempunyai teknik yang unik yang saya terapkan dalam penetas telur otomatis buatan saya. Kadang saya berpikir, apakah ciptaan saya ini termasuk unik (nyeleneh?) atau sebuah inovasi yang revolusioner. Kalau memang benar-benar aneh, lalu mengapa beramai-ramai orang menembak desain penetas telur ‘sistem rak putar’ yang saya ciptakan tahun 2000?, dimana saat itu tidak ada satupun produsen yang mengembangkannya untuk penetas telur kapasitas kecil. Rak telur aluminium profil 'U', penggunaan ‘synchronous gear motor’ adalah contoh teknologi ‘aneh’ yang sudah biasa saya gunakan.

Dulu sempat terpikirkan untuk mempatenkan ciptaan saya, namun sering terdengar bahwa proses pengurusan paten sangat mahal, lama, sulit dan seabreg kata negatif lainnya. Kalaupun berhasil mendapatkan paten, juga tidak menjamin tidak dijiplak, he..he.. maklum orang Indonesia, banyak akal bulusnya. Jika kita tuntut ke pengadilan pun juga memakan waktu lama, belum terhitung biaya pengacaranya. Jadi, ya sudah diikhlaskan saja, itung-itung bagi-bagi rejeki.. he..he.

Pada 2008, saat saya mulai terjun ke dunia maya, sempat ada perasaan minder dengan produsen yang lebih dahulu eksis membuat penetas telur otomatis. Apalagi penetasnya bagus banget dengan bermacam-macam peralatan yang rumit. Namun ketika melihat harga yang ditawarkan juga begitu tinggi, terbersit harapan ada sedikit celah yang bisa saya masuki, yaitu menjual penetas dengan teknologi yang sama tapi dengan harga lebih ekonomis. Memanfaatkan berbagai macam komponen yang bisa saya comot dengan mudah di toko elektronik, saya mulai belajar menaikkan motivasi yang sempat down, maka mulailah proses produksi di lakukan di teras belakang rumah. Memanfaatkan website buatan sendiri, penjualan via online pun mulai dilakukan. Dengan kesabaran yang super tinggi, akhirnya produksi saya mulai terjual ‘3 bulan’ kemudian. Hingga kini, buatan saya sudah memasuki generasi ke-3 dan akan terus berkembang hingga puluhan generasi lagi.

Ciptaan saya benar-benar revolusioner dalam hal kesederhanaan sistem kerja dan penggunaan materialnya. Saya tidak perlu menggunakan peralatan mahal seperti kontroler kelembaban, karena ternyata setelah saya teliti, hanya dengan memanfaatkan hadiah dari ‘Tuhan’ berupa hukum alam (fisika), kelembaban dalam penetas sudah tercapai dengan nilai yang masih rasional. Material papan panel MDF untuk box pun bukanlah material yang ideal karena tidak tahan air. Tapi keunggulannya adalah lebih murah, mudah difabrikasi, dan mempunyai densitas / kerapatan yang tinggi (sangat bagus untuk menahan panas). Dengan teknik pengecatan khusus, ternyata papan MDF bisa menjadi ‘waterproof’, bahkan pernah saya teliti bisa menjadi bak air tanpa sedikitpun merusaknya.

Semuanya hanya berawal dari pemikiran bahwa kehidupan ini sebenarnya sangat ‘simple’, tidak perlu di rumit-rumitkan dan di berat-beratkan. Jadi saya sangat menjunjung tinggi falsafah ‘kalau bisa dipermudah kenapa harus dipersulit’, bukan sebaliknya seperti falsafahnya pejabat dan pegawai negeri. Kita sebagai manusialah yang membuat rumit masalah karena seringkali justru mendapat barokah dari kerumitan sistem yang dibuatnya. Saya sangat percaya, bangsa Indonesia bisa menjadi lebih bermartabat di mata dunia hanya dengan menerapkan kesederhanaan hidup seperti itu. Tidak perlu harus menarik-narik orang asing agar berinvestasi di Indonesia atau mengimpor mentah-mentah teknologi tinggi, cukup aplikasikan teknologi secara proporsional dan kombinasikan dengan kearifan budaya lokal melalui industri-industri kecil (UKM).

Sebuah langkah kecil untuk hasil besar...



Endless road image
Sudah 13 tahun saya malang melintang dalam dunia perunggasan sebagai produsen penetas telur, tepatnya sejak tahun 2000. Di tahun 2000, saya sedang mencoba beternak ayam arab yang saat itu sedang naik daun. Mau membeli doc tapi harganya cukup mahal, sehingga saya berinisiatif untuk membeli beberapa ekor indukan saja dan menetaskan sendiri. Tapi itupun juga terbentur dengan harga penetas telur, yang bagi saya masih mahal harganya dan saat itu hanya ada model manual, alias harus membalik telur satu persatu.Yang populer adalah merk 'Cema**' dan juga ada jiplakannya yaitu merk 'MJ'. Fiuhh... sudah terbayang berapa rupiah tabungan saya akan melayang dan juga repotnya membalik telur.

Beruntung, saat itu saya sedang meneruskan kuliah saya di Malang biar dapat gelar bergengsi ‘tukang insinyur’, karena sebelumnya hanya lulus D3. Perpustakaan kampus menjadi  jujukan saya jika ada jam lowong, dan disanalah saya menemukan banyak informasi berharga tentang dunia penetasan telur. Sempat ada pertanyaan aneh dari teman kuliah karena di perpustakaan karena saya bukannya mencari buku-buku teknik mesin (jurusan yang saya ambil), tetapi malah nyasar ke bagian jurusan peternakan, he..he.. emangnya gua pikirin.

Saat itulah saya berkenalan dengan suatu teknik untuk bisa memutar telur tanpa tangan satu persatu, tapi dengan mekanisme yang bisa memutar semua telur secara serentak. Hmm.. ini dia, tiba-tiba imajinasi liar saya mengatakan ‘lho.. inikan sebenarnya cocok juga dengan jurusan teknik mesin, karena ternyata penetas telur pada dasarnya adalah sebuah ‘machine’ dengan berbagai macam mekanisme di dalamnya. Namun kendalanya adalah tidak ada satupun yang menjelaskan sistem pemutaran telur untuk penetas kecil seperti yang saya butuhkan. Semuanya membahas tentang penetas dengan kapasitas besar dan rak bertingkat banyak. Saya juga mencoba untuk mencari informasi mengenai penetas telur dengan rak pemutar di berbagai media. Tetapi hasilnya nihil, yang ada hanya penetas berkapasitas besar, tak ada satupun yang berkapasitas kecil. Dan karena sulitnya mencari literatur dan contoh, akhirnya saya memutuskan harus membuat sendiri penetas telur ala ‘saya’. Tak ingin berlama-lama, dengan modal seadanya saya mulai mencoba utak atik di rumah sendiri. Tidak percuma keahlian saya waktu kecil saat membongkar peralatan elektronik bapak (tapi tidak bisa mengembalikan, he..he..).

Singkat kata, dengan ketekunan extra tinggi akhirnya terciptalah produk anak bangsa yang saat ini tetap saya tekuni dan kembangkan dengan teknologi terkini, yang meskipun saat itu masih sangat sederhana sistemnya, tetapi saya melihat sangat ‘revolusioner’ (sedikit lebay..). Saking uniknya desain saya, saat itu mulai ada yang tertarik untuk membantu menjualkan. Berawal dari produksi kecil-kecilan, saya berpikir bahwa harus ada nama yang keren yang tidak kalah dengan merk yang sudah populer duluan. Karena ada kecenderungan menggunakan merk dagang penetas telur  dengan nama ayam, saya pun mulai ikutan mencari nama yang pas. Akhirnya terpilihlah merk ‘Minorca’, nama ayam dari Italia. Sistemnya juga saya beri nama, yaitu ‘Sistem rak putar’, yang sekarang sudah dijiplak ramai-ramai oleh orang-orang seantero Indonesia..

Lalu setelah lulus kuliah tahun 2001, dengan modal dari Ibunda 1 juta rupiah (baca: satu juta rupiah), dan pinjaman mobil keluarga, saya mulai mengembangkan sayap untuk menjual ke toko-toko peternakan / poultry shop di seluruh jawa timur. Jatuh bangun dan keringat darah harus saya alami untuk bisa terus eksis, hingga mampu kredit mobil pickup baru untuk sarana transportasi. Saat menitipkan produk saya di sebuah poultry shop di Malang, ternyata laris manis, walaupun ada saingan penetas merk MJ buatan Malang yang sudah lebih dahulu dijual di toko tersebut. Tapi ternyata beberapa bulan kemudian desain saya ditiru mentah-mentah oleh produsen penetas telur MJ, yang sekarang masih eksis sebagai produsen penetas telur terbesar di tanah air merk. Mulai dari sistem rak putar, rak telur aluminium, sampai buku panduan di ‘tembak’ secara serampangan. Tapi itulah hebatnya, meskipun sudah ditiru, tetapi produk saya tetap kencang penjualannya, melebihi merk kompetitor tersebut. Puncaknya manajer poultry shop tersebut menghentikan penjualan produk saya dan hanya menjual produk kompetitor tersebut. Belakangan saya baru tahu ternyata bos pabrik penetas telur merk MJ ada kerjasama dengan poultry shop tersebut.

Kemalangan yang saya alami selanjutnya adalah juga peniruan dari berbagai macam kalangan, dan yang paling mengesalkan adalah peniruan oleh pegawai saya yang keluar tiba-tiba (padahal masih ada hubungan saudara sepupu), dan mengatasnamakan saya untuk buatannya sendiri. Yang membuat saya kecewa berat adalah presiden kita tercinta yang saya pilih dalam pilpress tahun 2004, menaikkan harga bbm. Meskipun kenaikan tidak terlalu besar dan sempat dikembalikan ke harga semula, tapi cukup membuat penjualan produk saya drop lebih dari 50%. Masih belum cukup, isu virus flu burung H5N1 (yang saya yakini juga menjadi bisnisan terselubung pejabat) semakin membuat saya ‘collapse’. Akhirnya tahun 2006 saya harus merelakan menjual mobil yang otomatis juga menghentikan penjualan penetas secara ‘kelilingan’ tersebut dan hanya melayani poultry shop di surabaya dan sekitarnya.

Sempat hijrah ke Jakarta tahun 2007 untuk kembali menjadi ‘buruh’ kontrakan selama 6 bulan, akhirnya dengan ‘galau’ saya kembali ke kota tercinta Surabaya. Kepulangan Ibunda saya ke Rahmatulah pada tahun 2008 lalu menyuadarkan dan membuat saya harus terus ‘survive’, dan akhirnya, dengan sisa tabungan hasil kerja di Jakarta, saya bertekad keras untuk menekuni kembali dunia perunggasan untuk meneruskan usaha produksi penetas telur yang sempat diteruskan kakak saya. Karena ingin bagi-bagi rejeki dengan sang kakak, akhirnya saya harus melakukan inovasi lain agar ada diversifikasi usaha.

Beruntung sebelumnya pada tahun 2005 saya sempat membuat prototipe penetas telur otomatis yang saat itu saya jual dengan harga teman kepada peternak ayam onagadori di Surabaya. Karena hingga tahun 2008, ternyata penetas telur otomatis tersebut masih bisa bekerja dengan baik, bahkan hingga tahun 2013 ini (8 tahun tanpa penggantian spare part!!), maka saya mencoba untuk memperbaiki teknologinya agar sesuai dengan perkembangan jaman. Begitu banyak waktu, tenaga dan pikiran saya curahkan untuk melakukan inovasi, dan hingga kini produksi penetas telur otomatis merk Aviamax telah mencapai produksi lebih dari 700 unit.

Masih teringat kata motivasi almarhumah Ibunda saya ‘ Semua (kesulitan) akan berlalu’ yang sering diucapkan semasa hidup kala saya berada dalam situasi krisis. ‘ Thanks mom, you are my inspiration, you are always in my mind, i believe you always support me from heaven’.